Senin, 14 September 2009

patung antique


Perajin Arca Batu
Dilema Prinsip "Pembeli adalah Raja Penipu"

REGINA RUKMORINI

Terkuaknya kasus pencurian dan pemalsuan arca di Museum Radya Pustaka, Solo, telah "menyeret" sejumlah nama tokoh nasional, juga seorang pemahat patung batu, Kudi Prihatin (36). Kendati, ia sebatas penjual yang harus melayani raja sebaik-baiknya.

Waktu itu saya menganggap pesanan lima arca setengah rusak itu hanyalah pesanan biasa dari sanggar. Kalau kemudian dimanfaatkan untuk macam-macam, saya sungguh tidak tahu," ujar bapak empat anak ini di rumahnya, di Dusun Tangkilan, Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (23/11).

Lima arca yang kini disebut- sebut sebagai arca palsu yang dipajang di Museum Radya Pustaka itu merupakan pesanan dari Sanggar Kinara Kinari di Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, yang disebut juga sebagai Desa Prumpung.

Sebagian anak muda Desa Prumpung memang terserap ke "pabrik" patung yang sangat marak dalam 20 tahun terakhir, dalam wujud kios-kios, serta sanggar kerajinan batu di penggalan jalan sekitar Monumen Bambu Runcing, Muntilan, itu. Konservasi semua candi-candi di Jawa, sebutlah misalnya Borobudur dan Prambanan, atau pembangunan beberapa candi lain di sejumlah gunung dan situs purbakala mengandalkan "seniman-seniman" Desa Prumpung ini. Jangan tanya berapa ribu kontainer penuh patung batu yang terus diekspor dan dikapalkan ke Korea, China, Belanda, Jepang, Jerman, Amerika, Australia.... "Hampir tiap bulan saya ke luar negeri. Patung buatan China bisa bagus-bagus, rahasianya karena peralatan mereka komplet. Saya beli pahat-pahat baja dan alat lain dari sana," kata pemilik sanggar dan kini jadi bos besar di situ itu.

Bagi Kudi, meski pesanan lima arca kuno itu sudah lebih setahun silam, ia masih ingat jelas. Permintaan membuat patung dalam kondisi tidak utuh—seperti tampilan dalam foto yang disodorkan oleh pemilik salah satu sanggar di situ—tergolong pesanan tak biasa. "Itu satu-satunya pesanan aneh yang pernah saya terima," kata Kudi tentang lima arca pesanan itu, yakni Ganesha, Agastya, Durga Mahesasuramardhini, Siwa Mahaguru, dan satu arca lain yang tidak diingatnya. Karena kondisi pesanan patung tidak utuh, Kudi pun mengenakan harga khusus, lebih murah. Kelima patung, yang semuanya memiliki tinggi tak lebih dari 1,25 meter ini, dijualnya Rp 750.000-Rp 1.500.000. "Untuk patung Durga setinggi 1 meter, biasanya saya jual seharga Rp 3 juta. Namun, karena dibuat setengah rusak, saya mematok Rp 1,5 juta saja," ujar Kudi. Awalnya mereka memesan tiga patung, dua sisanya menyusul.

Sejak mula Kudi merasa tidak ada yang aneh. Sama seperti pemesanan biasanya, pembayaran patung pun tidak dibayar tunai setelah patung dikerjakan. "Ini sudah biasa. Kami terkadang memang harus maklum kalau pembeli tidak bisa langsung membayar pesanan," ujarnya.

Saat diserahkan, patung itu berada dalam kondisi baru, selesai dipahat. Ketika itu, Kudi mengatakan, dirinya pun tidak memoles atau memproses patung menjadi berkesan lama karena itu bukan keahliannya.

Terkait dengan kasus pencurian dan pemalsuan arca ini, Kudi pun mengaku tidak mau ambil pusing. Baginya, perilaku oknum yang kemudian memanfaatkan arca buatannya untuk tujuan buruk adalah sesuatu yang di luar kendali dan tidak pernah diduga sebelumnya. "Namun, saya berharap agar ke depan profesi sebagai pemahat tidak dianggap memiliki citra buruk sebagai antek pencurian patung."

Muhtadi (30), perajin lain, juga berpendapat serupa. Ia selalu membuat sesuai dengan selera dan permintaan pelanggan. "Pembeli adalah raja. Maka, kami pun berusaha keras untuk memenuhi keinginan pelanggan," kata Muhtadi.

Dalam setahun, Muhtadi bisa membuat dan menerima pesanan hingga 10 patung. Selama ini yang menjadi pelanggan tetapnya adalah empat sanggar di kawasan Prumpung. Untuk setiap pesanan, pelanggan biasanya hanya menyodorkan gambar atau foto, berikut mencantumkan tinggi patung yang diinginkan. Semua pesanan bisa dikerjakan pria yang membuka usaha seni pahat patung sejak 1994 ini berkat pengalaman dan kejeliannya melihat gambar arca di buku sejarah ataupun candi.

Maskuat Hidayat, perajin lain, sadar bahwa keahlian mereka untuk membuat duplikat arca rawan disalahgunakan. Terlebih, sekarang ini kalangan perajin juga mengenal teknik memproses patung baru menjadi terkesan kuno. Dan ia sempat menerima pesanan patung polesan beberapa kali. "Walaupun tidak menipu pembeli, saya tetap merasa apa yang saya lakukan itu salah. Namun, ini dilema. Saya harus memenuhi permintaan pelanggan demi kebutuhan hidup sehari-hari," ujarnya.

Patung yang dibuat kuno itu bernilai jual empat hingga enam kali lipat lebih mahal daripada patung baru. Biasanya, patung semacam ini dipesan oleh para pemilik galeri atau kolektor khusus barang antik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar