Senin, 14 September 2009

herrys saying

PEMBUAT patung batu dari Desa Prumpung Sidoharjo, Kecamatan Muntilan itu pernah bercerita, beberapa kali ia mimpi bertemu tokoh-tokoh purba yang tak dipahaminya, siapa mereka. Sebagian sosok yang dilihatnya, ternyata kemudian dekat dengan sosok yang dilihatnya pada relief, atau arca di Candi Borobudur, dan candi-candi sekitar Borobudur. Tapi sebagian lagi, tetap jadi misteri yang belum juga dipahaminya.



Dongeng petualangan batinnya itu, dikisahkannya kira-kira 16 tahun silam, di sekitar persiapannya berpameran tahun 1986, bersama 25 perajin dan pengusaha patung batu sedesanya, di Bentara Budaya Yogya (BBY).

Doelkamid Djajaprana, kini telah berusia 65 tahun. Dalam kurun waktu 16 tahun terakhir itu, ia belum bercerita lagi apakah ia kembali bertemu dengan sosok-sosok purba di sepanjang “jalan batunya”.



Mana sempat dia bercerita lagi! Ayah 14 anak itu bulan-bulan ini tak mungkin ditemui di rumahnya, karena tengah mesu budi (berkonsentrasi penuh) untuk menyelesaikan pembuatan sebuah Candi Hindu, atas pesanan seseorang dari Jawa Timur.



“Niki Pak, pesenane kangge Bapak (Ini Pak, pesanan untuk Ayah saya-Red). Silakan lihat,” ujar Teguh Jaya (23), pemuda lulusan STM Gulon, Muntilan tahun 1998 itu pekan lalu, sambil menyodorkan map berisi proposal proyek pembangunan candi tersebut. Di situ tertulis, rencana pembangunan Candi Petilasan Maha Resi Markandeya di Pegunungan Dusun Wonoasih, Desa Bumi Harjo, Kecamatan Glennmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.



Teguh Jaya, anak ketujuh Doelkamid Djajaprana itu bercerita sudah dua bulan ini ayahnya bekerja di gunung, bersama 10 pemahat terbaik dari desanya untuk menyelesaikan pembangunan candi tersebut. Teguh kebagian jaga rumah dan “studio” ayahnya, sambil menggarap pesanan relief dinding. “Saya pilih begini saja, Pak. Makanya saya juga tidak melanjutkan sekolah,” kata Teguh, sambil melanjutkan ayunan palu, membentuk batu dengan pahat cuplik, tatah, dan pengecel yang ganti-ganti digenggam dengan tangan kirinya.



Rupanya, bukan cuma anak dan bapak itu saja yang terlibat dalam gemuruh “industri” kerajinan batu Desa Prumpung. Di sebelah rumah Doelkamid, terdapat dua rumah perajin batu milik keponakannya bernama Soeharto (49) dan Mohammad Isnaeni (42).



Soeharto yang mengelola Sanggar Indraprastha dibantu keponakannya bernama Hermansyah, dan adik iparnya Aep Sudrajat dari Jawa Barat. Soeharto adalah anak dari almarhum Notodihardjo, kakak kandung Doelkamid nomor dua, sedangkan Isnaeni adalah anak Ali Rahmad, kakak kandung Doelkamid nomor empat.



“Pak Djajaprana itu, ibaratnya orang sudah terkenal, makanya dia banyak dapat order, termasuk pesanan bikin candi, Mas,” kata Neni, panggilan akrab Isnaeni. Neni membandingkan, bahkan untuk menghitung rata-rata omzet produksinya per bulan pun, ia mengalami kesulitan karena ketidakpastian pemasukan, atau kecilnya omzet. Kecuali, katanya, besarnya biaya hidup bersama istri dan seorang anak, plus tambahan uang sumbangan untuk kegiatan sosial di kampung, sekitar sejuta rupiah/bulan.



Kesulitan seperti itu, katanya, karena umumnya perajin kecil, dan puluhan buruh pahat yang datang ke Prumpung dengan upah harian Rp 10.000/ hari, belum punya nama, belum populer. Maka pekerjaan memahat batu, sebagian besar sekadar persiapan untuk diambil pedagang pemesan karena sudah telanjur mengutang pada bos pemilik usaha kerajinan.



Neni misalnya, menjalin kerja sama dengan Karminto, pengusaha taman di depan Stasiun TVRI Jakarta, di Senayan. “Kalau saya minta uang cash juga diberi oleh Pak Karminto. Tapi saya tidak gampang minta, karena justru untuk menahan pemborosan,” kata Neni, lulusan STM Jurusan Mesin, Temanggung yang tiap hari mengolah batu itu. Namun, sejumlah tukang pahat di Sanggar Linang Sayang dan Sanggar Nakula Sadewa milik keluarga Nyoman Alim, bisa menerima honor Rp 50.000/hari. “Mereka memang ahli, Mas,” kata Kristinawati, bagian administrasi Lingang Sayang tentang keahlian Sutris, salah satu pematung mereka.



Dengan jadwal kerja harian pukul 08.00-16.00 dan pendapatan rata-rata Rp 10.000/hari, maka ungkapan serupa, bahwa hidup toh harus bergulir meskipun beban bertumpuk, lalu jadi sesuatu yang rutin. Ini setidaknya pengakuan Jumadi (55) dari Desa Bethingan, Kecamatan Mungkid Magelang, Sugiyat (49) asli Prumpung, maupun Priyono (22) asal Kabupaten Kulonprogo DIY. Dua yang pertama, sudah lebih dari lima tahun bekerja pada pengusaha kerajinan batu Frans Sukoco, sedangkan Priyono (22), lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogya (kini SMK-Red) tahun 2001 itu, baru empat bulan bergabung.



Setahun lalu, sebagai siswa SMSR Yogya, ia melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di pengusaha batu Sukoco ini. Salah seorang anak Sukoco adalah siswa sekelas dengan Priyono di SMRSR, dan keduanya ber-PKL di tempat yang sama. “Daripada di rumah tidak ada pekerjaan, saya akhirnya ke Prumpung. Saya malah diminta tinggal di sini oleh Pak Frans,” kata Priyono, satu dari karyawan Frans Sukoco, yang kemudian tinggal serumah dengan rekan sekelasnya, salah satu anak Sukoco.



Anak ketiga dari empat bersaudara keluarga petani Kulonprogo itu, boleh jadi mirip Teguh Jaya, atau Neni, seolah tak punya akses pada lapangan kerja, atau alternatif lain, sebutlah yang lebih prospektif.



Prospektif atau tidak, tapi rasa lapar di tengah kerja sekitar pukul 11.00 segera terpuaskan di sela-sela kerja, ketika seorang pembantu wanita, datang membawa dua mangkuk sayur, tempe goreng, dan lauk lainnya ke dalam bilik bambu tempat para tukang menyimpan peralatan. Lalu, wanita pembawa makanan tadi, juga menenteng dua bungkus rokok kretek untuk para pekerja.
***

PUSAT kerajinan patung batu Desa Prumpung-mungkin yang terbesar di Jawa untuk jenis batu-batu kali, andesit, dan onix- terletak di sebelah selatan jembatan Kali Pabelan, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), jaraknya sekitar 29 kilometer dari Yogya, atau sekitar 12 kilometer dari Candi Borobudur.



Menurut kisah Doelkamid (Katalog Pameran BBY, Agustus 1986-Red), kurun waktu 1930-1950-an misalnya, pemahat batu di desa itu hanyalah ayahnya, Djojopawiro seorang. Djojopawiro adalah petani yang punya keahlian memahat batu, dan dianggap perintis desa kerajinan batu yang menghasilkan cobek, muntu (ulekan), kijing (pusara), nisan, lumpang batu, pipisan batu, dan kebutuhan rumah tangga lain waktu itu.



Keluarga Djojo, juga mencari sendiri batu-batu gunung dari desa-desa seperti Dukun, Duren, Grogol, Banteng, dan Keningar di Kecamatan Dukun di bawah Merapi yang berjarak sekitar 11 kilometer. Mereka membawa gerobak, dan membawa turun ke Prumpung yang berjarak kurang dari 11 kilometer. Doelkamid bahkan mencatat, Desa Prumpung diduga merupakan desa transit, antara penggalian batu di Kecamatan Dukun dengan proyek besar pembangunan Candi Borobudur di abad ke-9 silam. Salah satu buktinya, ialah temuan pecahan piring porselen, bata merah, dan potongan besi di bawah lokasi Monumen Bambu Runcing Muntilan, di sebelah timur desa.



Djojopawiro memiliki enam orang anak, lima di antaranya lelaki, dan semuanya berprofesi sebagai tukang pahat batu, Nitirejo alias Trubus, Notodihardjo, Rebyuk (wanita), Ali Rahmad, Marto Utomo alias Marto Dullah, dan Doelkamid Djajaprana. Kelima orang inilah yang kemudian merintis pembaruan seni pahat batu, meniru model-model patung realis, dan relief klasik mitologi Hindu/Buddha.



Pertumbuhan jumlah kelompok pematung terus bertambah bagai jamur di musim penghujan. Tahun 1930-1950-an misalnya terdiri dari tiga kelompok; tahun 1950-1960 lima kelompok; tahun 1960-1970, 14 kelompok; tahun 1970-1980, 38 kelompok; dan 1980-1985 terdiri dari 45 kelompok. Sekarang ini, jumlah kelompoknya mungkin di lebih dari 200 kelompok, dengan pekerja ribuan. “Dulu pernah dibuat semacam koperasi, tetapi kemudian tidak berlanjut. Sampai sekarang, ya, lalu sendiri-sendiri,” ujar Sukoco.



Tahun 1970-an, gaya klasik jenis lain pun muncul, yaitu patung-patung klasik Bali oleh I Nyoman Alim Musthapa, pemuda Bali yang menikah dengan Sri Widati, gadis Desa Prumpung. Produksi patung Nyoman, tidak sebanyak perajin lain, karena ia hanya dibantu dua-tiga tukang, di tengah gaya patung klasik Prumpung tadi. Meskipun demikian, proses kreatif Nyoman, boleh dikata mengikuti garis yang sama, meneruskan seni patung klasik (Bali), dan kemudian mulai bertemu dengan wawasan baru akibat pesanan dan bergaul dengan tuntutan pasar sendiri.



Sejak pertengahan tahun 1980-an itulah, kemudian kreasi-kreasi pematung Prumpung mulai menyebar ke berbagai kota, bahkan ekspor dalam jumlah besar ke Belanda, Austria, Jepang, Hongkong, Amerika, Malaysia, Singapura, Malaysia, Chili, Jerman, Eropa, dan lain-lain. Doelkamid banyak mendapat pesanan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Jateng dan DIY untuk merenovasi/konservasi berbagai bangunan candi, dan permintaan pemda-pemda untuk membuat bangunan-bangunan batu. Nyoman kemudian bisa meraih pasar modern, membangun berbagai fasilitas hotel seperti Sheraton Solo, Sheraton Surabaya, Senggigi Hotel, Bali Imperial Hotel, dan seterusnya.



Jika di halaman dan teras rumah Doelkamid bisa ditemukan sosok patung hitam Petruk, atau Semar, gupala, maupun tokoh dewa dalam agama Hindu atau Buddha, hal serupa bisa ditemukan di kediaman Nyoman yang pertama kira-kira hanya berjarak 700 meter dari rumah Doelkamid, tapi ciri khas patung-patung Nyoman adalah pahatan-pahatan figur-figur ramping, memanjang dengan ornamen rumit khas Bali. Dewa Wishnu berbentuk garuda, tokoh-tokoh pewayangan dalam gaya klasik, dan tentu saja sosok-sosok penari Bali dengan batu putih, serta sejumlah patung dada sejumlah pahlawan nasional.



Dengan sekitar 70 orang karyawan di dua sanggarnya, dan pengalaman berpameran dan memproduksi seni pahat batu klasik dan realis, lalu abstrak, dan kini mengikuti gaya mediterania, Nyoman mencatat pengalaman tak terlupakan sekitar sepuluh tahun silam di Jepang. Ketika itu, ia bangga sekali membawa patung batu motif bunga teratai dari batu onix yang keras kehijauan. “Nyatanya, sampai di sana saya jadi malu, karena patung-patung batu dari Cina, sangat jauh lebih hebat. Kuncinya peralatan, dan semangat pikiran kita. Makin keras batu yang kita gunakan, di situlah sekarang baru bisa merasakan, maka makin menarik tantangan itu. Dan kalau pikiran kita kuat, pasti jadi,” kata Nyoman.



Kini, kekuatan kreativitas Nyoman itu-sebagaimana kekuatan mesu budi Doelkamid Djajaprana-seperti diwakili dengan karya-karya mutakhir mereka. Doelkamid bergelut dengan pembuatan candi, sedangkan Nyoman mendapat order dari Presiden Megawati di pegunungan daerah Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Ia harus membuat prasasti besar dengan dinding marmer 50 X 80 meter persegi, serta monumen batu setinggi 2,5 meter. “Pak Nyoman baru ke Afrika sekarang, tapi mungkin untuk peringatan Tahun Gunung 2002, atau peresmian Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) 17 Oktober 2002,” kata stafnya.



Ia kini memiliki studio baru, Sanggar Nakula Sadewa yang lebih luas, dan dengan variasi produk yang demikian beragam, sampai bath tub, tempat cuci tangan, desain meja modern, sampai gantungan kunci dan tempat lilin. Tapi di studionya, dia juga menerima pesanan patung dan hiasan-hiasan modern dalam berbagai ragam bentuk dan bahan. Sedangkan suasana studio lama yang kini dikelola putrinya Dewie Ratna bersama suaminya Lilik Sulistiyono, juga tak kalah sibuknya. (Hariadi Saptono)

Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0209/22/latar/dari13.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar