Senin, 14 September 2009
patung antique
Perajin Arca Batu
Dilema Prinsip "Pembeli adalah Raja Penipu"
REGINA RUKMORINI
Terkuaknya kasus pencurian dan pemalsuan arca di Museum Radya Pustaka, Solo, telah "menyeret" sejumlah nama tokoh nasional, juga seorang pemahat patung batu, Kudi Prihatin (36). Kendati, ia sebatas penjual yang harus melayani raja sebaik-baiknya.
Waktu itu saya menganggap pesanan lima arca setengah rusak itu hanyalah pesanan biasa dari sanggar. Kalau kemudian dimanfaatkan untuk macam-macam, saya sungguh tidak tahu," ujar bapak empat anak ini di rumahnya, di Dusun Tangkilan, Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (23/11).
Lima arca yang kini disebut- sebut sebagai arca palsu yang dipajang di Museum Radya Pustaka itu merupakan pesanan dari Sanggar Kinara Kinari di Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, yang disebut juga sebagai Desa Prumpung.
Sebagian anak muda Desa Prumpung memang terserap ke "pabrik" patung yang sangat marak dalam 20 tahun terakhir, dalam wujud kios-kios, serta sanggar kerajinan batu di penggalan jalan sekitar Monumen Bambu Runcing, Muntilan, itu. Konservasi semua candi-candi di Jawa, sebutlah misalnya Borobudur dan Prambanan, atau pembangunan beberapa candi lain di sejumlah gunung dan situs purbakala mengandalkan "seniman-seniman" Desa Prumpung ini. Jangan tanya berapa ribu kontainer penuh patung batu yang terus diekspor dan dikapalkan ke Korea, China, Belanda, Jepang, Jerman, Amerika, Australia.... "Hampir tiap bulan saya ke luar negeri. Patung buatan China bisa bagus-bagus, rahasianya karena peralatan mereka komplet. Saya beli pahat-pahat baja dan alat lain dari sana," kata pemilik sanggar dan kini jadi bos besar di situ itu.
Bagi Kudi, meski pesanan lima arca kuno itu sudah lebih setahun silam, ia masih ingat jelas. Permintaan membuat patung dalam kondisi tidak utuh—seperti tampilan dalam foto yang disodorkan oleh pemilik salah satu sanggar di situ—tergolong pesanan tak biasa. "Itu satu-satunya pesanan aneh yang pernah saya terima," kata Kudi tentang lima arca pesanan itu, yakni Ganesha, Agastya, Durga Mahesasuramardhini, Siwa Mahaguru, dan satu arca lain yang tidak diingatnya. Karena kondisi pesanan patung tidak utuh, Kudi pun mengenakan harga khusus, lebih murah. Kelima patung, yang semuanya memiliki tinggi tak lebih dari 1,25 meter ini, dijualnya Rp 750.000-Rp 1.500.000. "Untuk patung Durga setinggi 1 meter, biasanya saya jual seharga Rp 3 juta. Namun, karena dibuat setengah rusak, saya mematok Rp 1,5 juta saja," ujar Kudi. Awalnya mereka memesan tiga patung, dua sisanya menyusul.
Sejak mula Kudi merasa tidak ada yang aneh. Sama seperti pemesanan biasanya, pembayaran patung pun tidak dibayar tunai setelah patung dikerjakan. "Ini sudah biasa. Kami terkadang memang harus maklum kalau pembeli tidak bisa langsung membayar pesanan," ujarnya.
Saat diserahkan, patung itu berada dalam kondisi baru, selesai dipahat. Ketika itu, Kudi mengatakan, dirinya pun tidak memoles atau memproses patung menjadi berkesan lama karena itu bukan keahliannya.
Terkait dengan kasus pencurian dan pemalsuan arca ini, Kudi pun mengaku tidak mau ambil pusing. Baginya, perilaku oknum yang kemudian memanfaatkan arca buatannya untuk tujuan buruk adalah sesuatu yang di luar kendali dan tidak pernah diduga sebelumnya. "Namun, saya berharap agar ke depan profesi sebagai pemahat tidak dianggap memiliki citra buruk sebagai antek pencurian patung."
Muhtadi (30), perajin lain, juga berpendapat serupa. Ia selalu membuat sesuai dengan selera dan permintaan pelanggan. "Pembeli adalah raja. Maka, kami pun berusaha keras untuk memenuhi keinginan pelanggan," kata Muhtadi.
Dalam setahun, Muhtadi bisa membuat dan menerima pesanan hingga 10 patung. Selama ini yang menjadi pelanggan tetapnya adalah empat sanggar di kawasan Prumpung. Untuk setiap pesanan, pelanggan biasanya hanya menyodorkan gambar atau foto, berikut mencantumkan tinggi patung yang diinginkan. Semua pesanan bisa dikerjakan pria yang membuka usaha seni pahat patung sejak 1994 ini berkat pengalaman dan kejeliannya melihat gambar arca di buku sejarah ataupun candi.
Maskuat Hidayat, perajin lain, sadar bahwa keahlian mereka untuk membuat duplikat arca rawan disalahgunakan. Terlebih, sekarang ini kalangan perajin juga mengenal teknik memproses patung baru menjadi terkesan kuno. Dan ia sempat menerima pesanan patung polesan beberapa kali. "Walaupun tidak menipu pembeli, saya tetap merasa apa yang saya lakukan itu salah. Namun, ini dilema. Saya harus memenuhi permintaan pelanggan demi kebutuhan hidup sehari-hari," ujarnya.
Patung yang dibuat kuno itu bernilai jual empat hingga enam kali lipat lebih mahal daripada patung baru. Biasanya, patung semacam ini dipesan oleh para pemilik galeri atau kolektor khusus barang antik.
posting era tahun 89
Patung-patung prumpung
Ahli patung tak hanya di bali. di prumpung, taman agung, muntilan, mayoritas masyarakatnya ahli pahat. mereka memproduksi arca patung muntilan, campuran bali-prumpung. sebagian diekspor.
SEMULA, dikira Bali telah "tersesat" di kaki Gunung Merapi. Tempatnya di Prumpung, Desa Taman Agung, Jawa Tengah. Di sana berjajar aneka ragam patung yang sekilas memang mirip patung Bali. Padahal, tidak semua patung itu berciri Bali. Ada ciri lain, bila ditelaah lebih dalam.
"Arca-arca ini asli sini," kata Soetjipto. "Nenek moyang kami memang pemahat, sehingga anak keturunannya juga pandai memahat. Dan kerja ini susah ditinggalkan." Wajah alam seputar Taman Agung seperti membenarkan pernyataan pematung itu.
Loreng Merapi, yang bagai dinding batu mengelilingi desa di Kecamatan Muntilan ini, telah merangsang kehendak menciptakan arca. Tapi, entah bagaimana awalnya, kemudian lahir kebiasaan membuat arca kepala Budha dan batu nisan di lembah tersebut.
Bahkan lereng di Kabupaten Magelang ini bukan hanya menggoda penduduknya. Pematung-pematung Bali yang punya latar belakang memahat yang kental berduyun pula datang. "Saya ikut ayah saya kemari pada 1968," kata Nyoman Alim Mustafa. Ia lahir di Denpasar.
Para pendatang berbaur dalam kehidupan dan melahirkan karya. Nyoman Alim kemudian menikah dengan gadis Prumpung. Sementara itu, patung-patung karyanya punya napas baru, atawa benar tak sama dengan patung Bali. Arca-arca hasil akulturasi inilah yang kini dikenal masyarakat sebagai patung Muntilan.
Memang, ada lagi gapura bergaya Bali. Malah duplikat arca-arca Pradnyaparaminta, Ganesha, dan Budha dengan citra candi di Jawa Tengah. Di sini ada pula patung Gupala (raksasa penjaga gerbang) dan arca Wishnu di atas garuda, sehingga ini justru menunjukkan gaya campuran Prumpung-Bali.
Campuran budaya ini kemudian jadi muara bisnis. Patung-patung itu diproduksi untuk dijual. Dan laku. Misalnya, arca berukuran 1 meter sekitar Rp 100.000. Pembelinya muncul dari serata tanah air, apalagi Jakarta. Patung-patung ini bahkan diekspor.
Sekitar 100 kelompok pemahat, kegiatan di Prumpung itu lebih pantas disebut industri patung. Mereka bekerja dengan pola dan sistem produksi yang dicari bersama. Karena itu, patung yang dihasilkan persis sama bentuknya.
Tidak bersaing? "Tidak. Semua pemahat dan pengusaha di sini masih keluarga," jawab Nyoman Alim Mustafa.
Jim Supangkat dan Slamet Subagyo
herrys saying
PEMBUAT patung batu dari Desa Prumpung Sidoharjo, Kecamatan Muntilan itu pernah bercerita, beberapa kali ia mimpi bertemu tokoh-tokoh purba yang tak dipahaminya, siapa mereka. Sebagian sosok yang dilihatnya, ternyata kemudian dekat dengan sosok yang dilihatnya pada relief, atau arca di Candi Borobudur, dan candi-candi sekitar Borobudur. Tapi sebagian lagi, tetap jadi misteri yang belum juga dipahaminya.
Dongeng petualangan batinnya itu, dikisahkannya kira-kira 16 tahun silam, di sekitar persiapannya berpameran tahun 1986, bersama 25 perajin dan pengusaha patung batu sedesanya, di Bentara Budaya Yogya (BBY).
Doelkamid Djajaprana, kini telah berusia 65 tahun. Dalam kurun waktu 16 tahun terakhir itu, ia belum bercerita lagi apakah ia kembali bertemu dengan sosok-sosok purba di sepanjang “jalan batunya”.
Mana sempat dia bercerita lagi! Ayah 14 anak itu bulan-bulan ini tak mungkin ditemui di rumahnya, karena tengah mesu budi (berkonsentrasi penuh) untuk menyelesaikan pembuatan sebuah Candi Hindu, atas pesanan seseorang dari Jawa Timur.
“Niki Pak, pesenane kangge Bapak (Ini Pak, pesanan untuk Ayah saya-Red). Silakan lihat,” ujar Teguh Jaya (23), pemuda lulusan STM Gulon, Muntilan tahun 1998 itu pekan lalu, sambil menyodorkan map berisi proposal proyek pembangunan candi tersebut. Di situ tertulis, rencana pembangunan Candi Petilasan Maha Resi Markandeya di Pegunungan Dusun Wonoasih, Desa Bumi Harjo, Kecamatan Glennmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Teguh Jaya, anak ketujuh Doelkamid Djajaprana itu bercerita sudah dua bulan ini ayahnya bekerja di gunung, bersama 10 pemahat terbaik dari desanya untuk menyelesaikan pembangunan candi tersebut. Teguh kebagian jaga rumah dan “studio” ayahnya, sambil menggarap pesanan relief dinding. “Saya pilih begini saja, Pak. Makanya saya juga tidak melanjutkan sekolah,” kata Teguh, sambil melanjutkan ayunan palu, membentuk batu dengan pahat cuplik, tatah, dan pengecel yang ganti-ganti digenggam dengan tangan kirinya.
Rupanya, bukan cuma anak dan bapak itu saja yang terlibat dalam gemuruh “industri” kerajinan batu Desa Prumpung. Di sebelah rumah Doelkamid, terdapat dua rumah perajin batu milik keponakannya bernama Soeharto (49) dan Mohammad Isnaeni (42).
Soeharto yang mengelola Sanggar Indraprastha dibantu keponakannya bernama Hermansyah, dan adik iparnya Aep Sudrajat dari Jawa Barat. Soeharto adalah anak dari almarhum Notodihardjo, kakak kandung Doelkamid nomor dua, sedangkan Isnaeni adalah anak Ali Rahmad, kakak kandung Doelkamid nomor empat.
“Pak Djajaprana itu, ibaratnya orang sudah terkenal, makanya dia banyak dapat order, termasuk pesanan bikin candi, Mas,” kata Neni, panggilan akrab Isnaeni. Neni membandingkan, bahkan untuk menghitung rata-rata omzet produksinya per bulan pun, ia mengalami kesulitan karena ketidakpastian pemasukan, atau kecilnya omzet. Kecuali, katanya, besarnya biaya hidup bersama istri dan seorang anak, plus tambahan uang sumbangan untuk kegiatan sosial di kampung, sekitar sejuta rupiah/bulan.
Kesulitan seperti itu, katanya, karena umumnya perajin kecil, dan puluhan buruh pahat yang datang ke Prumpung dengan upah harian Rp 10.000/ hari, belum punya nama, belum populer. Maka pekerjaan memahat batu, sebagian besar sekadar persiapan untuk diambil pedagang pemesan karena sudah telanjur mengutang pada bos pemilik usaha kerajinan.
Neni misalnya, menjalin kerja sama dengan Karminto, pengusaha taman di depan Stasiun TVRI Jakarta, di Senayan. “Kalau saya minta uang cash juga diberi oleh Pak Karminto. Tapi saya tidak gampang minta, karena justru untuk menahan pemborosan,” kata Neni, lulusan STM Jurusan Mesin, Temanggung yang tiap hari mengolah batu itu. Namun, sejumlah tukang pahat di Sanggar Linang Sayang dan Sanggar Nakula Sadewa milik keluarga Nyoman Alim, bisa menerima honor Rp 50.000/hari. “Mereka memang ahli, Mas,” kata Kristinawati, bagian administrasi Lingang Sayang tentang keahlian Sutris, salah satu pematung mereka.
Dengan jadwal kerja harian pukul 08.00-16.00 dan pendapatan rata-rata Rp 10.000/hari, maka ungkapan serupa, bahwa hidup toh harus bergulir meskipun beban bertumpuk, lalu jadi sesuatu yang rutin. Ini setidaknya pengakuan Jumadi (55) dari Desa Bethingan, Kecamatan Mungkid Magelang, Sugiyat (49) asli Prumpung, maupun Priyono (22) asal Kabupaten Kulonprogo DIY. Dua yang pertama, sudah lebih dari lima tahun bekerja pada pengusaha kerajinan batu Frans Sukoco, sedangkan Priyono (22), lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogya (kini SMK-Red) tahun 2001 itu, baru empat bulan bergabung.
Setahun lalu, sebagai siswa SMSR Yogya, ia melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di pengusaha batu Sukoco ini. Salah seorang anak Sukoco adalah siswa sekelas dengan Priyono di SMRSR, dan keduanya ber-PKL di tempat yang sama. “Daripada di rumah tidak ada pekerjaan, saya akhirnya ke Prumpung. Saya malah diminta tinggal di sini oleh Pak Frans,” kata Priyono, satu dari karyawan Frans Sukoco, yang kemudian tinggal serumah dengan rekan sekelasnya, salah satu anak Sukoco.
Anak ketiga dari empat bersaudara keluarga petani Kulonprogo itu, boleh jadi mirip Teguh Jaya, atau Neni, seolah tak punya akses pada lapangan kerja, atau alternatif lain, sebutlah yang lebih prospektif.
Prospektif atau tidak, tapi rasa lapar di tengah kerja sekitar pukul 11.00 segera terpuaskan di sela-sela kerja, ketika seorang pembantu wanita, datang membawa dua mangkuk sayur, tempe goreng, dan lauk lainnya ke dalam bilik bambu tempat para tukang menyimpan peralatan. Lalu, wanita pembawa makanan tadi, juga menenteng dua bungkus rokok kretek untuk para pekerja.
***
PUSAT kerajinan patung batu Desa Prumpung-mungkin yang terbesar di Jawa untuk jenis batu-batu kali, andesit, dan onix- terletak di sebelah selatan jembatan Kali Pabelan, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), jaraknya sekitar 29 kilometer dari Yogya, atau sekitar 12 kilometer dari Candi Borobudur.
Menurut kisah Doelkamid (Katalog Pameran BBY, Agustus 1986-Red), kurun waktu 1930-1950-an misalnya, pemahat batu di desa itu hanyalah ayahnya, Djojopawiro seorang. Djojopawiro adalah petani yang punya keahlian memahat batu, dan dianggap perintis desa kerajinan batu yang menghasilkan cobek, muntu (ulekan), kijing (pusara), nisan, lumpang batu, pipisan batu, dan kebutuhan rumah tangga lain waktu itu.
Keluarga Djojo, juga mencari sendiri batu-batu gunung dari desa-desa seperti Dukun, Duren, Grogol, Banteng, dan Keningar di Kecamatan Dukun di bawah Merapi yang berjarak sekitar 11 kilometer. Mereka membawa gerobak, dan membawa turun ke Prumpung yang berjarak kurang dari 11 kilometer. Doelkamid bahkan mencatat, Desa Prumpung diduga merupakan desa transit, antara penggalian batu di Kecamatan Dukun dengan proyek besar pembangunan Candi Borobudur di abad ke-9 silam. Salah satu buktinya, ialah temuan pecahan piring porselen, bata merah, dan potongan besi di bawah lokasi Monumen Bambu Runcing Muntilan, di sebelah timur desa.
Djojopawiro memiliki enam orang anak, lima di antaranya lelaki, dan semuanya berprofesi sebagai tukang pahat batu, Nitirejo alias Trubus, Notodihardjo, Rebyuk (wanita), Ali Rahmad, Marto Utomo alias Marto Dullah, dan Doelkamid Djajaprana. Kelima orang inilah yang kemudian merintis pembaruan seni pahat batu, meniru model-model patung realis, dan relief klasik mitologi Hindu/Buddha.
Pertumbuhan jumlah kelompok pematung terus bertambah bagai jamur di musim penghujan. Tahun 1930-1950-an misalnya terdiri dari tiga kelompok; tahun 1950-1960 lima kelompok; tahun 1960-1970, 14 kelompok; tahun 1970-1980, 38 kelompok; dan 1980-1985 terdiri dari 45 kelompok. Sekarang ini, jumlah kelompoknya mungkin di lebih dari 200 kelompok, dengan pekerja ribuan. “Dulu pernah dibuat semacam koperasi, tetapi kemudian tidak berlanjut. Sampai sekarang, ya, lalu sendiri-sendiri,” ujar Sukoco.
Tahun 1970-an, gaya klasik jenis lain pun muncul, yaitu patung-patung klasik Bali oleh I Nyoman Alim Musthapa, pemuda Bali yang menikah dengan Sri Widati, gadis Desa Prumpung. Produksi patung Nyoman, tidak sebanyak perajin lain, karena ia hanya dibantu dua-tiga tukang, di tengah gaya patung klasik Prumpung tadi. Meskipun demikian, proses kreatif Nyoman, boleh dikata mengikuti garis yang sama, meneruskan seni patung klasik (Bali), dan kemudian mulai bertemu dengan wawasan baru akibat pesanan dan bergaul dengan tuntutan pasar sendiri.
Sejak pertengahan tahun 1980-an itulah, kemudian kreasi-kreasi pematung Prumpung mulai menyebar ke berbagai kota, bahkan ekspor dalam jumlah besar ke Belanda, Austria, Jepang, Hongkong, Amerika, Malaysia, Singapura, Malaysia, Chili, Jerman, Eropa, dan lain-lain. Doelkamid banyak mendapat pesanan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Jateng dan DIY untuk merenovasi/konservasi berbagai bangunan candi, dan permintaan pemda-pemda untuk membuat bangunan-bangunan batu. Nyoman kemudian bisa meraih pasar modern, membangun berbagai fasilitas hotel seperti Sheraton Solo, Sheraton Surabaya, Senggigi Hotel, Bali Imperial Hotel, dan seterusnya.
Jika di halaman dan teras rumah Doelkamid bisa ditemukan sosok patung hitam Petruk, atau Semar, gupala, maupun tokoh dewa dalam agama Hindu atau Buddha, hal serupa bisa ditemukan di kediaman Nyoman yang pertama kira-kira hanya berjarak 700 meter dari rumah Doelkamid, tapi ciri khas patung-patung Nyoman adalah pahatan-pahatan figur-figur ramping, memanjang dengan ornamen rumit khas Bali. Dewa Wishnu berbentuk garuda, tokoh-tokoh pewayangan dalam gaya klasik, dan tentu saja sosok-sosok penari Bali dengan batu putih, serta sejumlah patung dada sejumlah pahlawan nasional.
Dengan sekitar 70 orang karyawan di dua sanggarnya, dan pengalaman berpameran dan memproduksi seni pahat batu klasik dan realis, lalu abstrak, dan kini mengikuti gaya mediterania, Nyoman mencatat pengalaman tak terlupakan sekitar sepuluh tahun silam di Jepang. Ketika itu, ia bangga sekali membawa patung batu motif bunga teratai dari batu onix yang keras kehijauan. “Nyatanya, sampai di sana saya jadi malu, karena patung-patung batu dari Cina, sangat jauh lebih hebat. Kuncinya peralatan, dan semangat pikiran kita. Makin keras batu yang kita gunakan, di situlah sekarang baru bisa merasakan, maka makin menarik tantangan itu. Dan kalau pikiran kita kuat, pasti jadi,” kata Nyoman.
Kini, kekuatan kreativitas Nyoman itu-sebagaimana kekuatan mesu budi Doelkamid Djajaprana-seperti diwakili dengan karya-karya mutakhir mereka. Doelkamid bergelut dengan pembuatan candi, sedangkan Nyoman mendapat order dari Presiden Megawati di pegunungan daerah Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Ia harus membuat prasasti besar dengan dinding marmer 50 X 80 meter persegi, serta monumen batu setinggi 2,5 meter. “Pak Nyoman baru ke Afrika sekarang, tapi mungkin untuk peringatan Tahun Gunung 2002, atau peresmian Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) 17 Oktober 2002,” kata stafnya.
Ia kini memiliki studio baru, Sanggar Nakula Sadewa yang lebih luas, dan dengan variasi produk yang demikian beragam, sampai bath tub, tempat cuci tangan, desain meja modern, sampai gantungan kunci dan tempat lilin. Tapi di studionya, dia juga menerima pesanan patung dan hiasan-hiasan modern dalam berbagai ragam bentuk dan bahan. Sedangkan suasana studio lama yang kini dikelola putrinya Dewie Ratna bersama suaminya Lilik Sulistiyono, juga tak kalah sibuknya. (Hariadi Saptono)
Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0209/22/latar/dari13.htm
Dongeng petualangan batinnya itu, dikisahkannya kira-kira 16 tahun silam, di sekitar persiapannya berpameran tahun 1986, bersama 25 perajin dan pengusaha patung batu sedesanya, di Bentara Budaya Yogya (BBY).
Doelkamid Djajaprana, kini telah berusia 65 tahun. Dalam kurun waktu 16 tahun terakhir itu, ia belum bercerita lagi apakah ia kembali bertemu dengan sosok-sosok purba di sepanjang “jalan batunya”.
Mana sempat dia bercerita lagi! Ayah 14 anak itu bulan-bulan ini tak mungkin ditemui di rumahnya, karena tengah mesu budi (berkonsentrasi penuh) untuk menyelesaikan pembuatan sebuah Candi Hindu, atas pesanan seseorang dari Jawa Timur.
“Niki Pak, pesenane kangge Bapak (Ini Pak, pesanan untuk Ayah saya-Red). Silakan lihat,” ujar Teguh Jaya (23), pemuda lulusan STM Gulon, Muntilan tahun 1998 itu pekan lalu, sambil menyodorkan map berisi proposal proyek pembangunan candi tersebut. Di situ tertulis, rencana pembangunan Candi Petilasan Maha Resi Markandeya di Pegunungan Dusun Wonoasih, Desa Bumi Harjo, Kecamatan Glennmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Teguh Jaya, anak ketujuh Doelkamid Djajaprana itu bercerita sudah dua bulan ini ayahnya bekerja di gunung, bersama 10 pemahat terbaik dari desanya untuk menyelesaikan pembangunan candi tersebut. Teguh kebagian jaga rumah dan “studio” ayahnya, sambil menggarap pesanan relief dinding. “Saya pilih begini saja, Pak. Makanya saya juga tidak melanjutkan sekolah,” kata Teguh, sambil melanjutkan ayunan palu, membentuk batu dengan pahat cuplik, tatah, dan pengecel yang ganti-ganti digenggam dengan tangan kirinya.
Rupanya, bukan cuma anak dan bapak itu saja yang terlibat dalam gemuruh “industri” kerajinan batu Desa Prumpung. Di sebelah rumah Doelkamid, terdapat dua rumah perajin batu milik keponakannya bernama Soeharto (49) dan Mohammad Isnaeni (42).
Soeharto yang mengelola Sanggar Indraprastha dibantu keponakannya bernama Hermansyah, dan adik iparnya Aep Sudrajat dari Jawa Barat. Soeharto adalah anak dari almarhum Notodihardjo, kakak kandung Doelkamid nomor dua, sedangkan Isnaeni adalah anak Ali Rahmad, kakak kandung Doelkamid nomor empat.
“Pak Djajaprana itu, ibaratnya orang sudah terkenal, makanya dia banyak dapat order, termasuk pesanan bikin candi, Mas,” kata Neni, panggilan akrab Isnaeni. Neni membandingkan, bahkan untuk menghitung rata-rata omzet produksinya per bulan pun, ia mengalami kesulitan karena ketidakpastian pemasukan, atau kecilnya omzet. Kecuali, katanya, besarnya biaya hidup bersama istri dan seorang anak, plus tambahan uang sumbangan untuk kegiatan sosial di kampung, sekitar sejuta rupiah/bulan.
Kesulitan seperti itu, katanya, karena umumnya perajin kecil, dan puluhan buruh pahat yang datang ke Prumpung dengan upah harian Rp 10.000/ hari, belum punya nama, belum populer. Maka pekerjaan memahat batu, sebagian besar sekadar persiapan untuk diambil pedagang pemesan karena sudah telanjur mengutang pada bos pemilik usaha kerajinan.
Neni misalnya, menjalin kerja sama dengan Karminto, pengusaha taman di depan Stasiun TVRI Jakarta, di Senayan. “Kalau saya minta uang cash juga diberi oleh Pak Karminto. Tapi saya tidak gampang minta, karena justru untuk menahan pemborosan,” kata Neni, lulusan STM Jurusan Mesin, Temanggung yang tiap hari mengolah batu itu. Namun, sejumlah tukang pahat di Sanggar Linang Sayang dan Sanggar Nakula Sadewa milik keluarga Nyoman Alim, bisa menerima honor Rp 50.000/hari. “Mereka memang ahli, Mas,” kata Kristinawati, bagian administrasi Lingang Sayang tentang keahlian Sutris, salah satu pematung mereka.
Dengan jadwal kerja harian pukul 08.00-16.00 dan pendapatan rata-rata Rp 10.000/hari, maka ungkapan serupa, bahwa hidup toh harus bergulir meskipun beban bertumpuk, lalu jadi sesuatu yang rutin. Ini setidaknya pengakuan Jumadi (55) dari Desa Bethingan, Kecamatan Mungkid Magelang, Sugiyat (49) asli Prumpung, maupun Priyono (22) asal Kabupaten Kulonprogo DIY. Dua yang pertama, sudah lebih dari lima tahun bekerja pada pengusaha kerajinan batu Frans Sukoco, sedangkan Priyono (22), lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogya (kini SMK-Red) tahun 2001 itu, baru empat bulan bergabung.
Setahun lalu, sebagai siswa SMSR Yogya, ia melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di pengusaha batu Sukoco ini. Salah seorang anak Sukoco adalah siswa sekelas dengan Priyono di SMRSR, dan keduanya ber-PKL di tempat yang sama. “Daripada di rumah tidak ada pekerjaan, saya akhirnya ke Prumpung. Saya malah diminta tinggal di sini oleh Pak Frans,” kata Priyono, satu dari karyawan Frans Sukoco, yang kemudian tinggal serumah dengan rekan sekelasnya, salah satu anak Sukoco.
Anak ketiga dari empat bersaudara keluarga petani Kulonprogo itu, boleh jadi mirip Teguh Jaya, atau Neni, seolah tak punya akses pada lapangan kerja, atau alternatif lain, sebutlah yang lebih prospektif.
Prospektif atau tidak, tapi rasa lapar di tengah kerja sekitar pukul 11.00 segera terpuaskan di sela-sela kerja, ketika seorang pembantu wanita, datang membawa dua mangkuk sayur, tempe goreng, dan lauk lainnya ke dalam bilik bambu tempat para tukang menyimpan peralatan. Lalu, wanita pembawa makanan tadi, juga menenteng dua bungkus rokok kretek untuk para pekerja.
***
PUSAT kerajinan patung batu Desa Prumpung-mungkin yang terbesar di Jawa untuk jenis batu-batu kali, andesit, dan onix- terletak di sebelah selatan jembatan Kali Pabelan, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), jaraknya sekitar 29 kilometer dari Yogya, atau sekitar 12 kilometer dari Candi Borobudur.
Menurut kisah Doelkamid (Katalog Pameran BBY, Agustus 1986-Red), kurun waktu 1930-1950-an misalnya, pemahat batu di desa itu hanyalah ayahnya, Djojopawiro seorang. Djojopawiro adalah petani yang punya keahlian memahat batu, dan dianggap perintis desa kerajinan batu yang menghasilkan cobek, muntu (ulekan), kijing (pusara), nisan, lumpang batu, pipisan batu, dan kebutuhan rumah tangga lain waktu itu.
Keluarga Djojo, juga mencari sendiri batu-batu gunung dari desa-desa seperti Dukun, Duren, Grogol, Banteng, dan Keningar di Kecamatan Dukun di bawah Merapi yang berjarak sekitar 11 kilometer. Mereka membawa gerobak, dan membawa turun ke Prumpung yang berjarak kurang dari 11 kilometer. Doelkamid bahkan mencatat, Desa Prumpung diduga merupakan desa transit, antara penggalian batu di Kecamatan Dukun dengan proyek besar pembangunan Candi Borobudur di abad ke-9 silam. Salah satu buktinya, ialah temuan pecahan piring porselen, bata merah, dan potongan besi di bawah lokasi Monumen Bambu Runcing Muntilan, di sebelah timur desa.
Djojopawiro memiliki enam orang anak, lima di antaranya lelaki, dan semuanya berprofesi sebagai tukang pahat batu, Nitirejo alias Trubus, Notodihardjo, Rebyuk (wanita), Ali Rahmad, Marto Utomo alias Marto Dullah, dan Doelkamid Djajaprana. Kelima orang inilah yang kemudian merintis pembaruan seni pahat batu, meniru model-model patung realis, dan relief klasik mitologi Hindu/Buddha.
Pertumbuhan jumlah kelompok pematung terus bertambah bagai jamur di musim penghujan. Tahun 1930-1950-an misalnya terdiri dari tiga kelompok; tahun 1950-1960 lima kelompok; tahun 1960-1970, 14 kelompok; tahun 1970-1980, 38 kelompok; dan 1980-1985 terdiri dari 45 kelompok. Sekarang ini, jumlah kelompoknya mungkin di lebih dari 200 kelompok, dengan pekerja ribuan. “Dulu pernah dibuat semacam koperasi, tetapi kemudian tidak berlanjut. Sampai sekarang, ya, lalu sendiri-sendiri,” ujar Sukoco.
Tahun 1970-an, gaya klasik jenis lain pun muncul, yaitu patung-patung klasik Bali oleh I Nyoman Alim Musthapa, pemuda Bali yang menikah dengan Sri Widati, gadis Desa Prumpung. Produksi patung Nyoman, tidak sebanyak perajin lain, karena ia hanya dibantu dua-tiga tukang, di tengah gaya patung klasik Prumpung tadi. Meskipun demikian, proses kreatif Nyoman, boleh dikata mengikuti garis yang sama, meneruskan seni patung klasik (Bali), dan kemudian mulai bertemu dengan wawasan baru akibat pesanan dan bergaul dengan tuntutan pasar sendiri.
Sejak pertengahan tahun 1980-an itulah, kemudian kreasi-kreasi pematung Prumpung mulai menyebar ke berbagai kota, bahkan ekspor dalam jumlah besar ke Belanda, Austria, Jepang, Hongkong, Amerika, Malaysia, Singapura, Malaysia, Chili, Jerman, Eropa, dan lain-lain. Doelkamid banyak mendapat pesanan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Jateng dan DIY untuk merenovasi/konservasi berbagai bangunan candi, dan permintaan pemda-pemda untuk membuat bangunan-bangunan batu. Nyoman kemudian bisa meraih pasar modern, membangun berbagai fasilitas hotel seperti Sheraton Solo, Sheraton Surabaya, Senggigi Hotel, Bali Imperial Hotel, dan seterusnya.
Jika di halaman dan teras rumah Doelkamid bisa ditemukan sosok patung hitam Petruk, atau Semar, gupala, maupun tokoh dewa dalam agama Hindu atau Buddha, hal serupa bisa ditemukan di kediaman Nyoman yang pertama kira-kira hanya berjarak 700 meter dari rumah Doelkamid, tapi ciri khas patung-patung Nyoman adalah pahatan-pahatan figur-figur ramping, memanjang dengan ornamen rumit khas Bali. Dewa Wishnu berbentuk garuda, tokoh-tokoh pewayangan dalam gaya klasik, dan tentu saja sosok-sosok penari Bali dengan batu putih, serta sejumlah patung dada sejumlah pahlawan nasional.
Dengan sekitar 70 orang karyawan di dua sanggarnya, dan pengalaman berpameran dan memproduksi seni pahat batu klasik dan realis, lalu abstrak, dan kini mengikuti gaya mediterania, Nyoman mencatat pengalaman tak terlupakan sekitar sepuluh tahun silam di Jepang. Ketika itu, ia bangga sekali membawa patung batu motif bunga teratai dari batu onix yang keras kehijauan. “Nyatanya, sampai di sana saya jadi malu, karena patung-patung batu dari Cina, sangat jauh lebih hebat. Kuncinya peralatan, dan semangat pikiran kita. Makin keras batu yang kita gunakan, di situlah sekarang baru bisa merasakan, maka makin menarik tantangan itu. Dan kalau pikiran kita kuat, pasti jadi,” kata Nyoman.
Kini, kekuatan kreativitas Nyoman itu-sebagaimana kekuatan mesu budi Doelkamid Djajaprana-seperti diwakili dengan karya-karya mutakhir mereka. Doelkamid bergelut dengan pembuatan candi, sedangkan Nyoman mendapat order dari Presiden Megawati di pegunungan daerah Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Ia harus membuat prasasti besar dengan dinding marmer 50 X 80 meter persegi, serta monumen batu setinggi 2,5 meter. “Pak Nyoman baru ke Afrika sekarang, tapi mungkin untuk peringatan Tahun Gunung 2002, atau peresmian Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) 17 Oktober 2002,” kata stafnya.
Ia kini memiliki studio baru, Sanggar Nakula Sadewa yang lebih luas, dan dengan variasi produk yang demikian beragam, sampai bath tub, tempat cuci tangan, desain meja modern, sampai gantungan kunci dan tempat lilin. Tapi di studionya, dia juga menerima pesanan patung dan hiasan-hiasan modern dalam berbagai ragam bentuk dan bahan. Sedangkan suasana studio lama yang kini dikelola putrinya Dewie Ratna bersama suaminya Lilik Sulistiyono, juga tak kalah sibuknya. (Hariadi Saptono)
Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0209/22/latar/dari13.htm
Langganan:
Postingan (Atom)